Tidak terbayangkan begini jadinya. Awalnya ke Aceh menghadiri konser musik, tetapi akhirnya harus belajar hidup disiplin di tempat pelatihan polisi.
Begitulah kisah yang sedang dijalani puluhan komunitas anak Public United Not Kingdom (PUNK), dan kini mereka dalam status pembinaan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, Kabupaten Aceh Besar.
Jika di luar Aceh, komunitas anak punk bukan barang baru, apalagi disebut langka, terlebih di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Palembang.
Tentunya berbeda dengan Aceh, provinsi berotonomi khusus dan salah satu kekhususannya yakni pemberian wewenang menerapkan Syariat Islam secara kafah (menyeluruh).
Sekitar 65 orang komunitas anak punk dari berbagai provinsi di Indonesia pada 10 Desember 2011 berkumpul di Taman Budaya Kota Banda Aceh.
Penampilan kawula muda berambut dicat warna-warni, celana jins ketat, dan jaket kulit yang tampil kumuh itu menghebohkan warga Kota Banda Aceh, sore hari menjelang sabtu malam.
Di saat-saat komunitas punk itu sedang jingkrak-jingkrak di atas panggung, tiba-tiba polisi, petugas Satpol PP dan Wilayatul Hisbah datang menghentikan aktivitas panggung di Taman Budaya Banda Aceh.
Ada yang berlari tak karuan, kejar-kejaran dengan petugas, dan akhirnya terkumpul dalam satu lokasi. Petugas juga menemukan minuman keras, narkoba jenis ganja, dan senjata tajam.
Wakil Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa`aduddin Djamal dan pejabat polisi datang menghampiri dan menginterogasi satu per satu.
Ada yang datang dari Kota Medan, Surabaya, Jakarta, Jambi, dan Palembang.
"Konser anak punk menyimpang dari ajaran syariat Islam, dan mereka sudah menyalahi izin yang diberikan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)," kata Illiza Sa`aduddin Djamal.
Aparat keamanan terpaksa diminta untuk membubarkan konser musik itu karena mereka telah memanipulasi surat izin yang dikeluarkan MPU Kota Banda Aceh.
Untuk memperoleh izin kegiatan dan keramaian, komunitas punk mengelabui pengelola Taman Budaya, MPU, dan kepolisian dengan mengajukan surat atas nama "Komunitas Anak Aceh".
Illiza mengatakan, pihaknya setiap hari menerima keluhan dari warga dan meminta untuk menertibkan puluhan anak punk yang berkeliaran di kota Banda Aceh.
"Komunitas anak punk tidak bisa dibiarkan berkembang di bumi Aceh karena dapat memengaruhi serta merusak generasi muda kita. Kelompok ini juga dapat merusak akidah dan sangat menyimpang dari ajaran Islam, makanya harus kita bubarkan," kata Wakil Wali Kota Banda Aceh.
"Di Aceh tidak boleh ada komunitas anak punk, apalagi masyarakat kota Banda Aceh berkomitmen menjalankan hukum syariat Islam dalam kehidupannya sehari-hari," kata Illiza.
Pemerintah Kota Banda Aceh telah berkoordinasi dengan kepolisian untuk memberikan pembinaan agar mereka kembali hidup normal.
"Jika kita biarkan, perilaku mereka akan memengaruhi generasi muda Aceh," katanya.
Illiza juga mengharapkan peran orangtua untuk selalu mengawasi pergaulan putra-putrinya, jangan sampai mereka terjebak ke hal-hal yang negatif.
Ketua panitia pelaksana konser Rahmad Kurniawan berdalih, melalui konser itu sebagai ajang memperkuat silaturahim sesama komunitas punk dari seluruh Indonesia.
"Kami juga ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa komunitas punk juga ada di Aceh. Jangan pandang kami sebelah mata, kami bahagian dari anak negeri, kami juga berhak hidup tenang dengan dunia kami, tidak semua anak punk kriminal," katanya.
Proses pembinaan
Akhirnya Pemerintah Kota Banda Aceh yang didukung aparat kepolisian memboyong puluhan anak punk itu ke SPN Seulawah untuk menjalani proses pembinaan untuk dikembalikan ke keluarganya masing-masing.
Selama ini SPN, komunitas punk laki-laki, harus rela melepaskan rambutnya yang berwarna-warni menjadi plontos, pakaian kusam berganti dengan baju koko dan kain sarung.
Setiap hari belajar hidup disiplin, ilmu agama juga diberikan yang tujuannya agar mereka kembali ke jalan yang benar.
"Saya sudah mulai disiplin. Ada perubahan kecil setelah saya di sini (SPN). Yang tadinya urak-urakan, kini mulai disiplin waktu. Butuh proses untuk berubah, selangkah demi selangkah," kata Intan, mantan anak punk di SPN Seulawah, Saree.
Kapolda Aceh Irjen Iskandar Hasan mengatakan, pembinaan terhadap anak punk itu tidak akan melanggar HAM sebab berorientasi pada perbaikan mental tiap generasi bangsa itu.
"Mereka yang masuk SPN itu akan mengikuti tradisi dicebur ke kolam dengan baju kotor dan potong rambut. Ini dilakukan sebagai salah satu kesan yang akan diingat para anak punk nantinya," katanya.
Iskandar mengatakan, anak punk tersebut akan mendapat berbagai pembinaan mental sehingga sifat yang kumal dan tidak bersih akan hilang setelah mereka dibina di SPN tersebut.
"Kami juga mengajak partisipasi lembaga lainnya untuk memberikan pembinaan mental terhadap puluh anak punk tersebut," katanya.
Ia menambahkan, selama dalam pembinaan tersebut mereka akan diberikan baju, perlengkapan shalat, dan berbagai kebutuhan sehari-harinya sehingga sekembali dari pembinaan itu bisa hidup normal.
Kehadiran komonitas anak punk di provinsi paling ujung barat Indonesia itu juga sempat meresahkan warga setempat.
Kalangan ulama Aceh memberikan apresiasi positif cara aparat polda setempat yang telah melakukan pembinaan terhadap anak punk ke arah hidup yang lebih baik.
"Kami berterima kasih kepada Kapolda Aceh Irjen Iskandar Hasan dan jajarannya yang telah mengembalikan anak punk ke jalan hidup sebenarnya sesuai anjuran agama," kata Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk Faisal Aly.
Ia menyebutkan, tindakan pemerintah dan aparat kepolisian yang telah mengembalikan cara hidup anak-anak punk itu sudah sepatutnya mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat perlu mempunyai program tersebut.
"Mereka perlu diperhatikan, diberi arahan agar bisa hidup teratur dan layak. Anak-anak itu adalah aset bangsa yang memiliki tanggung jawab bersama untuk dilakukan pembinaan, mungkin selama ini cara hidupnya menyimpang," kata Sekjen HUDA.
Faisal Ali menyesalkan sikap sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), terutama yang berafiliasi dengan HAM, yang menyoroti seolah-olah apa yang dilakukan Polri dalam membina anak punk melanggar HAM.
"Tidak ada pelanggaran HAM oleh polisi. Apakah cara polisi yang melakukan pembinaan kembali setiap individu yang salah dianggap melanggar HAM. Jika ada yang beranggapan begitu, maka kami menyesalkan LSM HAM tersebut," kata dia, menegaskan.
Ia juga meminta LSM HAM di Aceh untuk tidak ikut-ikutan mengomentari yang tidak penting. Aceh sebuah daerah yang khusus diberlakukan syariat Islam. Islam menjunjung tinggi HAM.
"Saya meminta aparat pemerintah dan kepolisian tidak perlu terpengaruh oleh pihak mana pun dalam upaya kita semua menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum yang berlaku di NKRI.
Aceh "negeri" bersyariat, tentunya komunitas apa pun yang berlawanan dengan semangat cf dan nilai-nilai Islami masyarakat perlu pikir panjang untuk hadir di provinsi itu.
No comments:
Post a Comment