SPONSOR

Friday, March 2, 2012

KOMUNITAS PUNK, BEBAS & DIY


Di perempatan depan Kantor Kelurahan Mojosongo, dekat TA-TV, Solo, Jawa Tengah, setiap hari berkumpul anak-anak Punk. Jumlahnya cukup banyak. Hampir semuanya berusia muda. Di antara mereka ada empat orang primadona, empat gadis manis, seusia anak SMP. Jadi masih belia juga. 
Setiap harinya mereka hepi, seakan tidak ada beban apapun, meski hidup sebagai street-punk, atau punk-jalanan. Cara mencari uangnya pun simpel saja. Mengamen di perempatan jalan. Kalau udah dapat uang receh, dikumpulkan, untuk menghidupi seluruh group tersebut.
Sudah sering keberadaan mereka ini dirasia, baik oleh pihak kelurahan Mojosongo, maupun pihak Polres Jebres yang membawahi wilayah tersebut. Biasanya mereka lari ke kampung di dekatnya, dan banyak yang bersembunyi di masjid. Memang kalau sore, mereka mandi di mesjid setempat. Pengurus masjid, karena pertimbangan kemanusiaan, membiarkan saja ulah mereka. Orang kampung sekitar pun  tidak mengeluh, karena khusus anak-anak Punk yang mangkal di perempatan Mojosongo ini, tidak ada yang berbuat kriminal.
Mereka tidak pernah mengganggu warga. Mungkin kalau dikatakan mengganggu, hanyalah penampilan mereka yang awut-awutan, seronok, rambut punk, pakaian serba aneh, dan asesoris memenuhi tubuh mereka yang dihiasai tato. Disamping itu, kadang mereka tiduran berpasangan, di keteduhan pohon pekarangan salah satu penduduk setempat. Menyanyi sambil memetik gitar, kadang bersorak ramai. Hanya kegaduhan kecil-lah, kalau memang dianggap mengganggu.
Salah seorang penduduk yang bernama Bu Atun, ibu muda yang pekarangan rumahnya untuk mangkal anak-anak punk, malah punya ide bagus. Mereka boleh mangkal di pekarangannya, tetapi tidak boleh mabuk dan harus tertib. Mereka setuju. Karena Bu Atun membuka toko, mereka setiap hari kalau makan pagi atau siang, dilayani. Tinggal dibuatkan indomie rebus atau goreng, bisa dengan telur. Minumnya, ada air Aqua botol, gelas, atau kopi mixs.
Toko jadi ramai dan laris, anak-anak punk gembira, bisa punya tempat untuk berteduh. Secara kebetulan, pekarangan rumah Bu Atun luas, berada di tepi jalan dekat perempatan Mojosongo. Ada beberapa pepohonan mangga besar yang rimbun. Jadi kalau siang dan panas terik, mereka bisa berteduh. Warga setempat karena sudah terbiasa melihat mereka, lama-kelamaan juga jadi terbiasa dan merasa tidak terganggu.
Mengamati kehidupan anak-anak Punk memang mengasyikkan. Ternyata, tidak semuanya anak gelandangan. Sebagian besar, malahan dari keluarga baik-baik. Ada yang ayahnya tentara, pegawai negeri dan bahkan pengusaha. Seorang gadis belia yang mengaku bernama, Yulia (15 tahun) yang ikut mangkal di perempatan Mojosongo, kepada Obyektif Cyber Magazine, baru-baru ini mengaku dari keluarga pedagang yang tinggal di Boyolali.
“Apakah orang tuamu tidak mencarimu, mengingat kamu masih seorang gadis kencur (gadis belia)?” tanyaObyektif, belum lama ini. Dijawab: berkali-kali dia diminta orang tuanya untuk kembali ke rumah, tetapi tidak mau. Pulang sebentar ke rumah, dan kembali menggelandang lagi. Hal yang sama juga dibenarkan oleh kawan-kawannya yang lain. Terutama anggota punk yang dari para gadis belia, rata-rata mengatakan hal yang sama. Tidak kerasan tinggal di rumah orang tuanya berlama-lama. Pergaulanlah yang mempengaruhi mereka hidup sebagai street-punk.
Kehidupan sebagai anak-anak punk jalanan ini, seperti revolusi sosial saja. Cobalah tengok, di Jateng, hampir di semua kota besar ada komunitas anak-anak punk jalanan. Mereka mangkal di perempatan-perampatan traffict light (lampu bangjo). Sebagian besar anak-anak remaja dengan dandanan meniru kelompok punk luar negeri. Mungkinkah keberadaan mereka merupakan indikator kegagalan pendidikan sekolah, keluarga, dan masyarakat? Lalu apakah yang mereka cari?
Inilah jawabannya, sesuai dengan semboyan mereka. Ingin hidup bebas dan DIY. Apa itu DIY? Do It Yourself. Jadi terjemahan bebasnya, mereka ingin hidup bebas dan mandiri. Tujuan yang mulia, kalau membaca semboyan mereka. Namun yang tidak mereka sadari adalah, mereka rela meninggalkan bangku sekolah, hanya untuk menggelandang di jalanan. Tentu saja tanpa masa depan yang pasti. Rawan penyakit, rawan kekerasan, rawan pemerasan, dan ini yang dikhawatirkan: Rawan seks bebas. Ah. (Daniswari Anggadewi).
                                                       ----------------------------------------------  
 MELANDA DUNIA
Ingin hidup bebas di jalanan, bukan hal baru. Sejarahnya cukup panjang. Dimulai dari adanya kelompok Gipsy ratusan tahun yang silam, sudah ada komunitas seperti itu. Hidup bebas di jalanan, menari, hubungan bebas, dan hidup nomanden (berpindah-pindah tempat). Kehidupan kaum Gipsy ini terekam dengan jelas lewat kisah “Si Bongkok dari Notre Dame” karya besar Victor Hugo, pengarang Perancis yang menulisnya pada abad ke-18. Kisahnya juga sudah diangkat ke layar lebar dalam berbagai versi. Kaum Gipsy ini juga punya ketua atau raja sendiri. Aturan main sendiri, undang-undang sendiri, dan tidak tunduk pada pemerintahan yang sah pada waktu itu.   
Setelah Gipsy, pada jaman modern, munculah di Amerika kaum Hippies. Berambut gondrong merong, kaca mata hitam, memakai seragam jean belel. Penampilan mereka juga seronok. Hidup bebas di jalanan, mengisap ganja, main musik, mabuk-mabukan, bersenang-senang setiap hari, dan hidup tanpa masa depan dan tanpa beban. Adanya perilaku hidup bebas di jalanan ini pun melanda dunia. Tidak hanya monopoli negara barat saja, tetapi juga melanda negara lain, bahkan sampai ke Indonesia. Pada waktu itu, di kota-kota besar negeri ini, anak-anak muda banyak yang hidup bergaya Hippies.



Sekian tahun lalu, dunia pun kembali dikejutkan munculnya komunitas Punk. Konon Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok Punk selalu diharu-biru oleh golongan Skin-head. Namun, sejak tahun 1980-an, saat Punk merajalela di Amerika, dua golongan yang berseteru tersebut, malah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama.
Perkembangan selanjutnya, punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika, yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan. Saat itu, Negeri Paman Sam tersebut dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang berakibat meningkatnya angka pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak.
Banyak yang menyalahartikan punk sebagai pengacau dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk, karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal. Apakah gerakan anak-anak punk jalanan di kota-kota besar di Jateng dan juga di Indonesia ini,  juga akan meniru punk jalanan dari Inggris, walahualam.
Namun tindakan tegas dari Pemda setempat terhadap anak-anak punk jalanan, akhir-akhir ini cukup gencar.Para aparat menangkapi mereka, mencoba membinanya, agar mereka tidak kembali menggelandang di jalanan. Seperti di Aceh baru-baru ini, anak-anak punk ditangkapi, digundul, dan dididik militer. Akankah anak-anak punk punah dengan adanya tindakan para aparat tersebut? “Selama kami masih bernafas, kami akan memperjuangkan kebebasan kami,” teriak anak-anak punk jalanan yang demo di beberapa tempat, menyuarakan aspirasi mereka. Satu lagi, problema di negeri ini.

Friday, February 10, 2012

Komunitas Anak Punk Muslim





Inilah fenomena baru: ngaji di kalangan anak Punk. Mereka mengeindetitaskan pengajian komunitas underground itu dengan sebutan Punk Moslem.

Adalah Ahmad Zaki, menyisihkan waktunya untuk mengasuh anak-anak punk belajar membaca Al Qur'an. Zaki, menaruh harapan besar, generasi muda ini kelak menjadi agen perubahan untuk menularkan kebaikan kepada rekan-rekan sesama anak-anak punk.

Pergumulan Zaki dengan komunitas anak-anak punk bermula ketika ia bergaul dengan teman-teman komunitas punk di kawasan Pulo Gadung, Ramadhan setahun yang lalu (2007). Ketika itu, Zaki menjadi Event Organigizer (EO) sebuah pertunjukan musik di sebuah kampus. Ia sering mengundang komunitas punk dalam kegiatan pertunjukan musik di mall-mall, kampus dan sekolah-sekolah.

Saat itulah Zaki mendapat tempat di hati anak-anak punk. Mereka sering bertanya, kapan ada job lagi, maksudnya agenda ngeband. "Mereka yakin, secara materi bisa mendapatkan sesuatu, setelah saya menjadi marketing kelompok band mereka," ujar Zaki mengenang.

Zaki yang aktif di Dompet Dhuafa (DD) rupanya telah mengamati perkembangan anak-anak punk yang acapkali nongkrong di jalan-jalan ini. Meski Zaki bukan anak jalanan, ia merasa terpanggil untuk berdakwah di komunitas anak-anak punk."Dulu, saya pernah pernah bandel. Setidak-tidaknya, saya tahu kehidupan mereka," kilahnya.

Di komunitas band underground itulah, Zaki bertemu dengan (alm) Budi Khaironi, orang yang paling disegani di komunitas punk tersebut. Sebelum meninggal akibat kecelakan motor (Maret 2007), Zaki teringat kata-kata yang pernah diucapkan pimpinan komunitas punk itu: "Bang Zaki, tolong bimbing teman-teman kami (secara spiritual)."

Lalu siapa sesungguhnya Budi Khaeroni (32)? Dia adalah anak jalanan jebolan pesantren yang terjun ke jalan. Selain ngeband dan mengamen, Budi pernah menjadi Ketua Panji (Persaudaaran Anak Jalanan Indonesia).

Perlu diketahui, setiap wilayah di Indonesia, mereka punya persaudaraan, komunitasnya sekitar 5000-an, rata-rata muslim. Jika ada teman-teman yang terjaring trantib, Budi-lah yang mengurus untuk membebaskan rekannya itu. Di usia muda, tepatnya 23 Mei 2007 lalu, Budi meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas, meskipun sempat dirawat selama tiga hari di RS. UKI.

Komunitas Punk Moeslem rupanya mulai banyak jaringannya. "Kalau ikut komunitas mereka di Tangerang, shalat Jumat, misalnya, khotibnya pun dari kemunitas mereka sendiri, gayanya metal abis. Termasuk jamaahnya. Memang, nggak semuanya punk, alirannya beragam, ada yang beraliran regge, alternatif, rap, dan aliran musik lainnya," kata Zaki.

Ternyata Budi tidak sendiri. Ada seorang rekan yang memiliki misi sama untuk mengisi ladang dakwah ini di tengah komunitas anak punk. Ia adalah Bowo, anak kiai jebolan pesantren yang juga habis waktunya di jalan. Sejak itulah, Zaki merasa mendapat dukungan penuh.

"Kalau bukan kita siapa lagi yang akan berdakwah di kalangan anak jalanan. Kalau mau dakwah di komunitas anak jalanan, elu harus main di jalanan. Jika berdakwah di komunitas punk, elu tidak bisa pake baju koko, yang menunjukan kesalehan," begitu Bowo pernah berujar.

Sebagai generasi punk yang tobat, Budi dan Bowo merasa prihatin dan gerah melihat teman-teman yang mengalami disorientasi dalam hidupnya.

"Kini banyak bermunculan generasi punk yang tidak jelas, apakah punk ideologis atau punk modis. Kalau tahun 1994, banyak punk ideologis. Mereka benar-benar punk. Sekarang sekadar punk mode," kata Zaki.

Keprihatinan itulah yang mendorong Zaki, Budi dan Bowo menarik anak-anak punk yang sudah bosan dengan jalan hidupnya. Ngeband dan mengaji adalah kultur baru yang hendak ditularkan ke generasi punk. Mereka menyebut identitas kelompoknya dengan sebutan punk Moeslem. Saat ngeband, syairnya pun bernuansakan Islami. Ketika Islam menjadi basic, mereka mulai malu saat berbuat

Komunitas Punk Tersandung di Negeri Syariat



Tidak terbayangkan begini jadinya. Awalnya ke Aceh menghadiri konser musik, tetapi akhirnya harus belajar hidup disiplin di tempat pelatihan polisi.

Begitulah kisah yang sedang dijalani puluhan komunitas anak Public United Not Kingdom (PUNK), dan kini mereka dalam status pembinaan di Sekolah Polisi Negara (SPN) Seulawah, Kabupaten Aceh Besar.

Jika di luar Aceh, komunitas anak punk bukan barang baru, apalagi disebut langka, terlebih di kota-kota besar seperti di Jakarta, Surabaya, Medan, dan Palembang.





Tentunya berbeda dengan Aceh, provinsi berotonomi khusus dan salah satu kekhususannya yakni pemberian wewenang menerapkan Syariat Islam secara kafah (menyeluruh).

Sekitar 65 orang komunitas anak punk dari berbagai provinsi di Indonesia pada 10 Desember 2011 berkumpul di Taman Budaya Kota Banda Aceh.

Penampilan kawula muda berambut dicat warna-warni, celana jins ketat, dan jaket kulit yang tampil kumuh itu menghebohkan warga Kota Banda Aceh, sore hari menjelang sabtu malam.

Di saat-saat komunitas punk itu sedang jingkrak-jingkrak di atas panggung, tiba-tiba polisi, petugas Satpol PP dan Wilayatul Hisbah datang menghentikan aktivitas panggung di Taman Budaya Banda Aceh.

Ada yang berlari tak karuan, kejar-kejaran dengan petugas, dan akhirnya terkumpul dalam satu lokasi. Petugas juga menemukan minuman keras, narkoba jenis ganja, dan senjata tajam.

Wakil Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa`aduddin Djamal dan pejabat polisi datang menghampiri dan menginterogasi satu per satu. 

Ada yang datang dari Kota Medan, Surabaya, Jakarta, Jambi, dan Palembang.

"Konser anak punk menyimpang dari ajaran syariat Islam, dan mereka sudah menyalahi izin yang diberikan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU)," kata Illiza Sa`aduddin Djamal.

Aparat keamanan terpaksa diminta untuk membubarkan konser musik itu karena mereka telah memanipulasi surat izin yang dikeluarkan MPU Kota Banda Aceh.

Untuk memperoleh izin kegiatan dan keramaian, komunitas punk mengelabui pengelola Taman Budaya, MPU, dan kepolisian dengan mengajukan surat atas nama "Komunitas Anak Aceh".

Illiza mengatakan, pihaknya setiap hari menerima keluhan dari warga dan meminta untuk menertibkan puluhan anak punk yang berkeliaran di kota Banda Aceh.

"Komunitas anak punk tidak bisa dibiarkan berkembang di bumi Aceh karena dapat memengaruhi serta merusak generasi muda kita. Kelompok ini juga dapat merusak akidah dan sangat menyimpang dari ajaran Islam, makanya harus kita bubarkan," kata Wakil Wali Kota Banda Aceh.

"Di Aceh tidak boleh ada komunitas anak punk, apalagi masyarakat kota Banda Aceh berkomitmen menjalankan hukum syariat Islam dalam kehidupannya sehari-hari," kata Illiza.

Pemerintah Kota Banda Aceh telah berkoordinasi dengan kepolisian untuk memberikan pembinaan agar mereka kembali hidup normal.

"Jika kita biarkan, perilaku mereka akan memengaruhi generasi muda Aceh," katanya.

Illiza juga mengharapkan peran orangtua untuk selalu mengawasi pergaulan putra-putrinya, jangan sampai mereka terjebak ke hal-hal yang negatif.

Ketua panitia pelaksana konser Rahmad Kurniawan berdalih, melalui konser itu sebagai ajang memperkuat silaturahim sesama komunitas punk dari seluruh Indonesia.

"Kami juga ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa komunitas punk juga ada di Aceh. Jangan pandang kami sebelah mata, kami bahagian dari anak negeri, kami juga berhak hidup tenang dengan dunia kami, tidak semua anak punk kriminal," katanya.

Proses pembinaan

Akhirnya Pemerintah Kota Banda Aceh yang didukung aparat kepolisian memboyong puluhan anak punk itu ke SPN Seulawah untuk menjalani proses pembinaan untuk dikembalikan ke keluarganya masing-masing.

Selama ini SPN, komunitas punk laki-laki, harus rela melepaskan rambutnya yang berwarna-warni menjadi plontos, pakaian kusam berganti dengan baju koko dan kain sarung.

Setiap hari belajar hidup disiplin, ilmu agama juga diberikan yang tujuannya agar mereka kembali ke jalan yang benar.

"Saya sudah mulai disiplin. Ada perubahan kecil setelah saya di sini (SPN). Yang tadinya urak-urakan, kini mulai disiplin waktu. Butuh proses untuk berubah, selangkah demi selangkah," kata Intan, mantan anak punk di SPN Seulawah, Saree.

Kapolda Aceh Irjen Iskandar Hasan mengatakan, pembinaan terhadap anak punk itu tidak akan melanggar HAM sebab berorientasi pada perbaikan mental tiap generasi bangsa itu.

"Mereka yang masuk SPN itu akan mengikuti tradisi dicebur ke kolam dengan baju kotor dan potong rambut. Ini dilakukan sebagai salah satu kesan yang akan diingat para anak punk nantinya," katanya.

Iskandar mengatakan, anak punk tersebut akan mendapat berbagai pembinaan mental sehingga sifat yang kumal dan tidak bersih akan hilang setelah mereka dibina di SPN tersebut.

"Kami juga mengajak partisipasi lembaga lainnya untuk memberikan pembinaan mental terhadap puluh anak punk tersebut," katanya.

Ia menambahkan, selama dalam pembinaan tersebut mereka akan diberikan baju, perlengkapan shalat, dan berbagai kebutuhan sehari-harinya sehingga sekembali dari pembinaan itu bisa hidup normal.

Kehadiran komonitas anak punk di provinsi paling ujung barat Indonesia itu juga sempat meresahkan warga setempat.

Kalangan ulama Aceh memberikan apresiasi positif cara aparat polda setempat yang telah melakukan pembinaan terhadap anak punk ke arah hidup yang lebih baik.

"Kami berterima kasih kepada Kapolda Aceh Irjen Iskandar Hasan dan jajarannya yang telah mengembalikan anak punk ke jalan hidup sebenarnya sesuai anjuran agama," kata Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) Tgk Faisal Aly.

Ia menyebutkan, tindakan pemerintah dan aparat kepolisian yang telah mengembalikan cara hidup anak-anak punk itu sudah sepatutnya mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah pusat perlu mempunyai program tersebut.

"Mereka perlu diperhatikan, diberi arahan agar bisa hidup teratur dan layak. Anak-anak itu adalah aset bangsa yang memiliki tanggung jawab bersama untuk dilakukan pembinaan, mungkin selama ini cara hidupnya menyimpang," kata Sekjen HUDA.

Faisal Ali menyesalkan sikap sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM), terutama yang berafiliasi dengan HAM, yang menyoroti seolah-olah apa yang dilakukan Polri dalam membina anak punk melanggar HAM.

"Tidak ada pelanggaran HAM oleh polisi. Apakah cara polisi yang melakukan pembinaan kembali setiap individu yang salah dianggap melanggar HAM. Jika ada yang beranggapan begitu, maka kami menyesalkan LSM HAM tersebut," kata dia, menegaskan.

Ia juga meminta LSM HAM di Aceh untuk tidak ikut-ikutan mengomentari yang tidak penting. Aceh sebuah daerah yang khusus diberlakukan syariat Islam. Islam menjunjung tinggi HAM.

"Saya meminta aparat pemerintah dan kepolisian tidak perlu terpengaruh oleh pihak mana pun dalam upaya kita semua menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan hukum yang berlaku di NKRI.

Aceh "negeri" bersyariat, tentunya komunitas apa pun yang berlawanan dengan semangat cf dan nilai-nilai Islami masyarakat perlu pikir panjang untuk hadir di provinsi itu.

Komunitas “PUNK“ Siapakah Mereka?


Pernah bertemu sekelompok pemuda dengan dandanan ‘liar’ dan rambut dicat dengan potongan ke atas mirip rambut orang Indian, ditambah aksesoris anting-anting, rantai bahkan gembok tergantung di pinggang? Mereka biasa berkumpul di beberapa titik keramaian pusat kota dan memiliki gaya dengan ciri khas, “seni dan kebebasan” itulah yang menjadi alasan mereka seperti itu.

Pernah bertemu sekelompok pemuda dengan dandanan ‘liar’ dan rambut dicat dengan potongan ke atas mirip rambut orang Indian, ditambah aksesoris anting-anting, rantai bahkan gembok tergantung di pinggang? Mereka biasa berkumpul di beberapa titik keramaian pusat kota dan memiliki gaya dengan ciri khas, “seni dan kebebasan” itulah yang menjadi alasan mereka seperti itu.
Budi salah satu anak Punk di Pontianak pernah melanglangbuana sampai ke Singapura ini mengatakan, “Punk” itu sebuah aliran tetapi jiwa dan kepribadian pengikutnya kembali ke masing-masing individu, negatif tidaknya seorang Punk bukan karena aliran tetapi jiwa individunya jelas Budi.
Motto dari anak “Punk” itu, Equality atau persamaan hak. “Aliran Punk lahir karena adanya persamaan terhadap jenis aliran musik Punk dan adanya gejala perasaan yang tidak puas dalam diri masing-masing. Sehingga mereka mengubah gaya hidup dengan gaya hidup Punk,” kata Budi.
Akbar Alexander yang biasa dipanggil Nyong salah satu Punkers di Pontianak menjelaskan, menurut sejarahnya Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead. Namun, sejak tahun 1980-an, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Namun, Punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik.
Gerakan Punk adalah anak muda yang diawali oleh kelas pekerja ini, dengan segera merambah Amerika. Yang ketika itu, mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu kemerosotan moral para tokoh politik, yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi.
Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak. Selain fashion yang dikenakan, tingkah laku yang mereka perlihatkan seperti potongan rambut Mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh. Ini sikap anti kemapanan, anti sosial.
Setiap aksesoris yang dikenakan ada maknanya. Misalnya sepatu boot yang dipakai melambangkan anti penindasan. Gembok terkatup yang digantung di pinggang menunjukkan seorang ”Punkers” ingin kebebasan.  
Sebuah Gerakan Perlawanan
Dewa, Punkers asal Singkawang menjelaskan, kosa kata Punk telah digunakan sejak Shakespeare menulis The Merry Wives of Windsor. Dalam kamus Bahasa Indonesia, Punk diartikan sebagai anak muda yang masih ”hijau”, tidak berpengalaman, atau tidak berarti. Bahkan diartikan juga sebagai orang yang ceroboh, semberono dan ugal-ugalan. Namun, Dewa membantah karena makna tersebut dianggapnya kurang menggambarkan makna Punk secara keseluruhan.
Dalam ”Philosophy of Punk”, Craig O’Hara (1999) menyebutkan tiga pengertian Punk. Punk sebagai trend remaja dalam fashion dan musik. Punk sebagai pemula yang punya keberanian memberontak, memperjuangkan kebebasan dan melakukan perubahan. Punk sebagai bentuk perlawanan yang “hebat”, karena menciptakan musik, gaya hidup, komunitas dan kebudayaan sendiri.  
Punk memang tersohor di musik, namun energi eksplosif dan kecepatan gerak punk lebih dari sekedar fenomena musik. Musik hanya satu aspek dari gerakan Punk. Punk berkaitan erat dengan musik, ode dan grafis. Punk juga dapat dipandang sebagai bagian episode budaya lebih luas, dan menemukan ekspresinya dalam penampilan dan seni visual.
Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan pada keyakinan we can do it ourselves. Penilaian Punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial. ”Bahkan masalah agama,” jelas Budi.
Punk yang berkembang di Indonesia, lebih terkenal dalam hal pakaian yang dikenakan dan tingkah laku diperlihatkan. Mereka merasa mendapat kebebasan. “Punk” juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan pada keyakinan ”kita dapat melakukan sendiri”.
Jumlah anak “Punk” di Indonesia memang tidak banyak. ”Tapi ketika mereka turun ke jalanan, setiap mata tertarik untuk melirik gaya rambutnya yang Mohawk, dengan warna-warna terang dan mencolok,” jelas Dewa.
Menurut Budi, anak “Punk” bebas tetapi bertanggung jawab. Mereka berani bertanggung jawab secara pribadi, atas apa yang telah dilakukan. Karena aliran dan gaya hidup yang dijalani para “Punkers” aneh, maka pandangan miring dari masyarakat selalu ditujukan pada mereka. Padahal banyak diantara “Punkers” yang mempunyai kepedulian sosial sangat tinggi.
Menurut Budi, di Kalbar setiap tahun anak Punk selalu melakukan kegiatan sosial dengan membagikan makanan pada kaum miskin kota, anak jalanan dan orang-orang yang mengemis di perempatan serta pemulung. Kegiatan ini dikenal dengan istilah ”Food not Boms”.  
Menurut Ceel, seorang Punker yang bekerja di perusahaan penangkaran Ikan Arwana di Pontianak mengatakan, perkebangan Punk di Kalbar, seiring dengan masuknya Punk ke Kalbar 1997. Beberapa ”Punkers” dari Bandung datang ke Pontianak. ”Mereka menginginkan ada komunitas Punk di Pontianak,” kata Ceel.
Komunitas anak “Punk” mempunyai aturan sendiri yang menegaskan untuk tidak terlibat tawuran, tidak saja dalam segi musikalitas saja, tetapi juga pada aspek kehidupan lainnya. Dan juga komunitas anak “Punk” mempunyai landasan etika ”kita dapat melakukan sendiri”.
Beberapa komunitas “Punk” di kota-kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. Mereka juga merintis usaha rekaman dan distribusi terbatas. Komunitas tersebut membuat label rekaman sendiri, untuk menaungi band-band sealiran sekaligus mendistribusikannya ke pasaran.
Kemudian berkembang menjadi semacam toko kecil yang disebut distro. Tak hanya CD dan kaset, mereka juga memproduksi dan mendistribusikan t-shirt, aksesori, buku dan majalah, poster, serta jasa tindik (piercing) dan tatoo. Produk yang dijual seluruhnya terbatas dan dengan harga yang amat terjangkau.
Kemudian hasil yang didapatkan dari penjualan tersebut, sebagian dipergunakan untuk membantu dalam bidang sosial, seperti membantu anak-anak panti asuhan, meskipun mereka tidak mempunyai struktur organisasi yang jelas. Komunitas “Punk” yang lain, yaitu distro merupakan implementasi perlawanan terhadap perilaku konsumtif anak muda pemuja barang bermerk luar negeri
Pada masa kini dengan adanya globalisasi, banyak sekali kebudayaan yang masuk ke Indonesia, sehingga tidak dipungkiri bakal muncul banyak sekali kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat. Kelompok-kelompok tersebut muncul dikarenakan adanya persamaan tujuan atau senasib dari masing-masing individu, maka muncullah kelompok-kelompok sosial di masyarakat. ”Ini budaya luar ambil yang positif saja,” 

untukmu generasiku





Pada bagian pertama akan ditampilkan rekam fotografi dari berbagai macam segi meliputi foto diri maupun berkelompok, foto gigs (suasana venue, stage, penonton), aktivitas, tato, peristiwa, foto berita yang termuat di media massa dan lain sebagainya. Koleksi gambar pada bagian kedua memuat gambar-gambar non-fotografi seperti poster, flyer, logo, sampul album rekaman, tiket, ilustrasi, desain merchandise dan gambar sejenis lainnya.
Proyek buku ini diprakarsai oleh Wok The Rock (Realino Records, Yes No Wave Music), selaku editor bekerjasama dengan Else Press, sebuah penerbit buku mandiri dari Bandung. Proses pengumpulan data dilakukan secara online dan offline dan bersifat terbuka melalui bank data yang dikoordinasi di masing-masing kota. Pengumpulan data bisa dikirimkan langsung ke posko bank data, pos, e-mail dan blog. Dikarenakan jumlah halaman yang terbatas (208 halaman), maka dari data yang terkumpul akan disaring. Untuk itu pada tiap bagian dibagi lagi secara periodik. Periode awal pada bagian pertama adalah kurun waktu 80-an/90-an hingga tahun 2000, kemudian 2001 hingga 2010. Spesifikasi desain dan cetak buku ini merujuk pada majalah Maximum Rocknroll yaitu warna hitam-putih dengan kertas koran (bulky) dan berukuran 21 x 29,7 cm.
Batas waktu pengumpulan data adalah 28 Februari 2011.
Pengolahan data mulai tanggal 1 Maret hingga 15 Mei 2011.
Buku diterbitkan pada bulan Juni 2011.
Hasil penjualan buku ini nantinya digunakan untuk membuat sebuah lembaga pengarsipan yang rencananya saat ini dinamai PAPI (Pusat Arsip Punk Indonesia). Lembaga ini bersifat kolektif dan non-profit. Proyek ini nantinya tidak hanya mengarsipkan secara visual namun juga akan mengumpulkan data teks (esai, review, kritik, lirik lagu, slogan, dll).
Ayo kirim foto koleksimu melalui Website
Gabung di halaman Facebook untuk mengikuti berita terkini

13 KITAB SUCI PUNK ROCK


13 KITAB SUCI PUNK ROCK
Kontra Kemapanan Nan Tanpa Masa Depan
Berikut, in no particular order, adalah 13 album yang punya andil kolosal–at least for me, menyodorkan makna lebih fenomenal terhadap so-called Punk Rock. Memang, tak seluruhnya, utamanya dalam konteks musikal, bisa dikategorikan sebagai Punk Rock. Sebagian di antaranya malah melenceng jauh dari formula tradisional Lurus-3-Jurus-Monarki-Hanya-Kultus-Lubang-Anus-Margaret-Tatcher-Biar-Mampus. Namun energi yang termuntahkan full-frontal merefleksikan semangat Anti Establishment dan No Future. Pula saya tambahkan semacam guidance semisal busana yang sebaiknya anda pakai saat, katakanlah, nonton konser artis bersangkutan; ikhtisar ringkas-lugas tentang mereka, minuman yang klop untuk dikonsumsi ketika mendengarkannya, bahkan fenomena apakah dasar-kuping-Melayu-sukanya-yang-mendayu-dayu bisa menikmatinya… Tujuannya agar apresiasi yang dicapai lebih mengerucut menuju pemahaman holistik. Dipahami?
1. RAMONES
RamonesRamones
Terbit: 23 April 1976
Label: Sire Records
Asal: New York City, New York, AS
Produser: Craig Leon, Tommy Ramone
Sinopsis: The Blitzkrieg Beatles from Hell
Busana: Celana denim sempit, jaket kulit, sneakers All Stars, rambut poni
Minuman: Bir Bintang (while sniffin’ glue & doin’ Ephedrine made-in Pasuruan)
Kuping Melayu?: I Wanna Be Your Boyfriend bisa dipakai sebagai lagu perkenalan untuk merenggut simpati para cinta-melulu aficionados
2. THE CLASH
London CallingLondon Calling
Terbit: 14 Desember 1979
Label: CBS
Asal: London, Inggris
Produser: Guy Stevens
Sinopsis: White Riot Combat Punk Rock Skandinista
Busana: Kemeja putih sedekah dari The Salvation Army, disablon Margaret Tatcher (di bagian mata di-pylox hitam), + boots T.U.K. di-airbrush motif Union Jack
Minuman: Mansion House
Kuping Melayu?: (saat diperdengarkan The Guns of Brixton) “…ih, kayak Steven & The Coconuttreez…”
3. BUZZCOCKS
Singles Going Steady
Singles Going Steady
Terbit: September 1979
Label: EMI
Asal: Manchester, Inggris
Produser: Martin Rushent
Sinopsis: The Orgasm Addict Madchesterian
Busana: Kaos polo Fred Perry, jaket airforce, arloji Ben Sherman, skuter multi spion
Minuman: Champagne
Kuping Melayu?: Orgasm Addict sangat jitu dipakai mengiringi malam penobatan Poligami Awards 2008 di Padepokan A’a Gym–dan bukan tidak mungkin Abdullah Gymnastiar lalu terinspirasi menerbitkan buku berikutnya, Orgasme Qolbu
4. THE SEX PISTOLS
Never Mind The Bollocks, Here’s The Sex Pistols
nevermindthebollocks.jpg
Terbit: 28 Oktober 1977
Label: Virgin
Asal: London, Inggris
Produser: Chris Thomas, Bill Price
Sinopsis: Rotten, vicious, hooligan, anti hippies, anarchy saves The Queen
Busana: Kaos buluk penuh coretan spidol “I Hate Pink Floyd”, kalung gembok, peniti, peniti, peniti
Minuman: Air aki
Kuping Melayu?: Hampir mustahil kuping Melayu bisa menyukai album ini. …um, hey, kenapa tidak memakai strategi “buy 1 get 1”? Misalnya setiap pembelian album original soundtrack karya adiluhung–pasca Badai Pasti Berlalu–kebanggaan putra bangsa era millenium, Ayat-ayat Selingkuh & Munajat Kuntilanak ~ Persembahan Anak Negeri Untuk Kemaslahatan Musik Indonesia Tercinta berhadiah cuma-cuma Never Mind The Bollocks?
5. JOY DIVISION
Unknown Pleasures
Unknown Pleasures
Terbit: 15 Juni 1979
Label: Factory
Asal: Manchester, Inggris
Produser: Martin Hannett, Joy Division
Sinopsis: The Epileptic Madchester Mope Rockers
Busana: Jubah dokter, pucat & tanpa senyum
Minuman: Herbal tea (setelah menenggak Xanax)
Kuping Melayu?: Susah. Lewat jalur lain saja. Ahli medis, misalnya. Sebab Unknown Pleasuresbisa disodorkan sebagai terapi alternatif penyembuhan penyakit ayan
6. RICHARD HELL & THE VOIDOIDS
Blank Generation
Blank Generation
Terbit: 1977
Label: Sire
Asal: New York City, New York, AS
Produser: Richard Gottehrer, Richard Hell
Sinopsis: Blank Generation Rock All Stars
Busana: Kaos hitam legendaris CBGB dilapisi jas merah dari thrift store, rambut jabrik, postmen bag berisi buku kumpulan puisi Goenawan Mohammad
Minuman: Budweiser campur Prozac
Kuping Melayu?: Mumpung sesama aktivis “puisi mbeling”, bujuk rayu Oom Remy Sylado untuk memasukkan Love Comes in Spurts sebagai salah satu soundtrack sinetron yang dibintanginya
7. THE FALL
Hex Enduction Hour
Hex Enduction Hour
Terbit: 8 Maret 1982
Label: Kamera
Asal: Prestwich, Bury, Inggris
Produser: Richard Mazda
Sinopsis: “They are always different, they are always the same” ~ John Peel
Busana: 2nd hand Matsuda suit, fake Gucci pants, sepatu Patrick Cox
Minuman: Jose Cuervo (malam), Earl Grey (sore), Evian (pagi)
Kuping Melayu?: Oh. My. God. Mending langsung suruh seluruh agen toko kaset di jalur Pantura, khusus untuk Hex Enduction Hour segera dirabat tanpa ampun, say, diskon 50%. Atau beli 1 gratis 3
*hello, marketing wunderkinds & product-branding strategists, help, please?*
8. BAD BRAINS
Bad Brains
Bad Brains
Tahun Terbit: 1982
Label: ROIR
Asal: Washington, D.C., AS
Produser: (wallahuallam)
Sinopsis: Hardcore Punk meets Dub, black, banned in D.C., and angry
Busana: Kaos warna kuning dengan sablon “Destroy Babylon”, dreadlock, Doc Martens, + ngaku akrab dengan Ras Muhamad
Minuman: Alkohol 95% (hubungi apotek terdekat)
Kuping Melayu?: Percuma, biar saja para cinta-melulu aficionados fokus menikmati album-album rilisan Softex Heritage Music
9. MINOR THREAT
Complete Discography
Complete Discography
Terbit: 1989
Label: Dischord
Asal: Washington, D.C., AS
Produser: Minor Threat
Sinopsis: Straight Edge
Busana: Jaket hoodie abu-abu, sepatu basket putih Nike, rambut crew cut, + coretan “X” di kepalan tangan
Minuman: Air putih dan rupa-rupa minuman non-alkohol
Kuping Melayu?: Seharusnya mudah. Mulai saja dengan isu moral, haram-halal. Sebab Indonesia dari sononya ya memang penganut Straight Edge (Absolut Vodka = dosa, senggama sebelum menikah adalah zinah, memamerkan penis di muka umum itu tak sesuai dengan budaya Timur)
10. DEVO
Q: Are We Not Men? 
A: We Are DevoAre We Not Men 
Terbit: Juli 1978
Label: Warner Bros
Asal: Akron, Ohio, AS
Produser: Brian Eno
Sinopsis: Jocko Homongoloid Synth Punk
Busana: Seragam laboratorium + topi berbentuk pot bunga terbalik
Minuman: Sub Zero
Kuping Melayu?: Tawakal. Ikhlas. Orang sabar disayang Tuhan. Orang pintar minum Tolak Angin. Orang bijak taat bayar pajak. Tunggu sampai Goodnight Electric diterima khalayak banyak. Nantikan hingga The Upstairs sukses menembus penjualan 1 juta kopi. Jika Upstairs bisa, GE mampu, Devo pasti sanggup
11. THE JESUS AND MARY CHAIN
Psychocandy
Psychocandy
Terbit: November 1985
Label: Blanco y Negro
Asal: Glasgow, Skotlandia
Produser: The Jesus and Mary Chain
Sinopsis: Wall-of-Sound Feedback Rock
Busana: Gothic tanpa gelang paku, tanpa boots New Rock, tanpa emblem 666
Minuman: Scotch Whiskey campur LSD
Kuping Melayu?: Oh. My. Goddamned. God
*sales & marketing wunderkind, product-branding strategist, artist & repertoire prodigy, MarkPlus’ genius, ACNielsen’s hot shot, Ogilvy & Mather’s dream team, Ernst & Young’s whiz kid, y’all, U-N-I-T-E!*
12. DEAD KENNEDYS
Fresh Fruit For Rotting Vegetables
Fresh Fruit for Rotting Vegetables
Terbit: September 1980
Label: IRS
Asal: San Fransisco, California, AS
Produser: Norm, East Bay Ray
Sinopsis: Left Coast Propagandist Punk
Busana: Tanya Budiman Sudjatmiko apa masih nyimpen kaos & bendera PRD
Minuman: Tuak, Arak, Anggur, Lapen, Cap Tikus; any home industry, anti-capitalism friendly product
Kuping Melayu?: Tunggangi salah satu partai besar. Ikuti safari politik mereka ke daerah-daerah rawan pangan. Selain menjanjikan bonus duit Rp 15 ribu per kepala + nasi bungkus bagi yang ikut konvoi keliling kabupaten, selipkan juga album ini. Ungkit-ungkit sentimen yang berkaitan dengan “hanura” (hati nurani rakyat). Sampaikan ke kaum marjinal itu bahwa—selain konon masih saudara jauh Bung Karno dus fanatik Marhaenisme—Jello Biafra adalah suri tauladan pengentasan kemiskinan & kebodohan. Hidup Bang Biafra! Hidup Bung Karno! Hidup hanura! Hidup nasi bungkus!
13. PUBLIC ENEMY
It Takes a Nation of Millions to Hold Us Back
It Takes a Nation of Millions
Terbit: 28 Juni 1988
Label: Def Jam
Asal: Garden City, New York, AS
Produser: Hank Shocklee & Carl Ryder
Sinopsis: Too-Black-Too-Strong Rap Rebel Without a Pause
Busana: Baggy jeans, topi baseball, + jam dinding, lalu berseru, “Yo, Chuck, tell ‘em what time it is!”
Minuman: Pepsi Cola
Kuping Melayu?: Minta tolong yang sebesar-besarnya sembari sodorkan segepok dana sejuk-segar kepada Iwa K, siapa tahu dia tertarik merilis ulang/repackage album Kuingin Kembalidengan tembang gacoan mutakhir Selingkuh Tanpa Jeda yang notabene mencomot banyak bagian (sample-heavy) dari Rebel Without a Pause